Hujan. Bagiku hujan memiliki bahasa tersendiri. Ia mengungkapkan apa yang ia mau katakan padaku. Tergantung pengartiannya dari kapan dan bagaimana caranya turun. Aku punya cara tersendiri menyerap bahasanya. Tergantung apa yang kurasakan, walaupundengan mata tertutup dan aku tidak mendengar suaranya. Ya aku bisa tahu kalau ia sedang marah atau rindu padaku, walaupun tidak dingin, walaupun ia belum turun bahkan embunnya belum berkumpul dan membentuk arakan mendung.
Kamu tahu? Kamu tahu kalau hujan sebenarnya adalah bahasa yang disampaikan oleh orang-orang yang telah mati? Ya, ia berbahasa melalui rintik yang gemulai sampai siraman liar yang menghentak. Yang membius kita untuk melayang bersama burung-burung itu, untuk bersatu dengannya. Mengelana dalam ruang yang sekilas tanpa jeda.
Aku ingat, dulu ia selalu datang ketika ada rinai hujan. Walaupun ia tidak lama di depanku, tapi air hujan bekas jejak kakinya masih tetap tergenang di depan sana. Tidak berbeda dengan hujan yang meresap di bahu baju seragam putihnya. Ketika ia mengusap air di bahu dan aku meraba bekas jejak kakinya, tangan kami bersentuhan.
Seringkali ia muncul saat hujan. Mungkin itu saat paling tepat untuknya mencari-cari waktu. Atau kalau tidak, hujan yang menyulap hari sedikit gelap membuat wajahku kehilangan sedikit kekurangannya. Ia muncul tanpa berujar. Tak pernah berujar. Kami melempar pesan melalui mata dan bersentuhan dengan hujan. Selama bertahun-tahun.
Dulu saat aku masih kecil, hujan selalu membuat orang rumah waswas. Airnya yang menyapu lantai kayu dapur yang sebagian tak beratap, dan seringkali tergenang membuat ibu angkatku marah. Belum lagi petir yang menggelegar, seluruh tante maupun oom dari keluarga besar di rumah itu tidak ada yang suka. Tante selalu dengan sewot mencabut colokan kabel listrik, "takut disambar petir," katanya.
Oomku yang paling muda juga tak berani berdiam di kamarnya yang gelap. Kamarnya memang lebih gelap dibanding ruang-ruang lain di rumah kayu tua. Seluruh jendela rumah ditutup, yang membuat angin merasuk ke bawah tikar plastik melalui celah-celah lantai kayu yang mulai reot. Membuat tikar plastik itu menggelembung, naik dengan sendirinya seperti dimasuki hantu dari bawah. Belum lagi mereka masih harus memutar-mutar antena televisi besi yang berat dan tinggi ketika hujan redajika tak mau menonton kerumunan semut.
Tapi ketika jendela rumah itu baru ditutup dan mulai gelap, dingin hujan membuatku merasa tenteram. Nuansa tempat tinggal sangat nyaman, aku aman di sana. Dingin dan nyaman. Saat itu aku mulai melirik hujan. Semua orang di rumah membencinya dan melarangku bermain apalagi bersentuhan dengan hujan, "Demam!" cegat ibu angkatku. Aku mulai mencari waktu untuk menikmati hujan seorang diri tanpa campur tangan siapapun. Diam-diam, aku berselingkuh dengan hujan.
Setelah aku dewasa, kemunculannya bersama hujan telah memberikan kelengkapan tersendiri. Hujan tidak lagi janggal karena aku menyukai serbuan gerimis itu dengan alasan kuat. Alasan yang sama dengan alasanku kenapa menyukainya. Dingin dan nyaman.
Sudah dua puluh tahun terakhir ini aku tidak melihatnya lagi ketika hujan datang. Terakhir kali aku melihatnya saat aku berusia tujuh belas. Orang-orang bilang ia telah pergi jauh, sangat jauh. Aku tetap belum bisa percaya. Jasad yang mereka panggil dengan sebutan namanya, seperti bukan ia. Seperti orang lain. Ia tidak pernah mati. Kemarin ataupun beberapa malam lalu aku melihatnya di seberang jalan, dengan satu stel atasan dan bawahan putih. Ia sempat menoleh dan tersenyum padaku. Kadang aku melihatnya datang ke kamarku tiba-tiba di tengah malam, melihatnya di jalan raya menuju kampusku, di gedung tua sekolahan, di atas bianglala, dan aku melihatnya memasuki kamar kami sesaat lepas aku bercinta dengan pacar pertamaku.
Sekarang warna langit yang dingin. Bukan putih tidak juga biru. Kelabu yang nyaris hitam. Sangat dingin namun memberikan kehangatan emosi. Sebentar lagi turun hujan. Burung-burung sudah berpasang-pasangan terbang dari langit mendung. Begitu indah. Aku ingin menyatu dengan seluruh genangan air hujan. Seperti sekarang, di kedalaman laut ini, membiarkan seluruh tubuhku meresap ke dalam tiap tetes airnya. Aku bisa merasakannya sangat dingin. Merasa berpelukan dengan hujan dan seluruh tubuhku dibelai olehnya.
Semakin dingin, kumpulan aliran hujan ini mulai merasuki tiap pori di tubuhku, aku menikmatinya. Seperti melayang dalam ruang hampa udara yang membekukan. Aku tak tahu seberapa jauh sekarang. Seberapa kaki tubuhku telah menjelajah jatuh di kedalaman laut. Rasa ingin membeku ini membuatku bisa mengartikan makna mendung abu-abu sebelum hujan. Dari atas lamat terdengar suara rintik air yang mulai membaur dengan laut. Sekarang sedang turun hujan.***
No comments:
Post a Comment
Ayo..... tekan tuts keyboardnya.....