Rindumu menderas hujan. Dan aku telah meminumnya. Tapi aku tetap kehausan. Maka dari bibirku, reguklah air rindu sepuasnya, bahkan mengering kerontang hingga kita tak perlu kenal lagi apa itu bosan.
“…hingga kita tak kenal lagi apa itu kehausan. Karena rindu mengairi bibir kita, dalam jarak sekalipun.”
Apakah desah pagi adalah iringan sepi yang mengarak rindumu? Seperti menjarah gudang tak berisi, rinduku hanya menampar kosong di rengkuh jemari pagi. Maka, dekatlah padaku. Tak perlu raga nyatamu. Seteguk napas dari bibirmu cukup untuk membunuh rinduku.
Segera araklah dupa hangatmu, dan taburkan di kelopak mataku yang menyisir sunyi rindu. Rindu tetaplah rindu. Meskipun tiada bagimu, aku akan menjemputnya untuk ada, dan untukmu.
Rindu itu luka, ternyata….. Inilah kemanjaan siang yang mengusir terik kepongahan. Seperti tak kenal malu, rindu itu terjun bebas ke pangkuanmu.
“Kangen tauuu…!”
Diam dibelit semesta maya. Terbang rendah diantara nalar dan jiwa yang tak kompromi. Mencintaimu tanpa aku bertanya lagi. Cintaku bersembunyi pada arakan risau. Meniti tak pasti di jembatan hatimu.
Tak terbilang satu cintaku yang memanah palung hatimu. Tak terbilang setiap rinduku yang meletupkan napas keindahan di tapal batas penantianku; menunggumu.
“Haruskah kita acuh dan mengingkari rasa saling itu?”
Apakah aku ada di sana dalam memori pengembaraanmu? Jika iya, akan kukatakan cinta detik ini juga, lugas tanpa praduga. Tidakkah kau tahu? Malam-malamku selalu bersimbah keluh kisah yang menguras janji. Karena aku percaya, mencintaimu adalah pilihan dari setiap hidup yang kuyakini. Meskipun barisan waktu menjepitku dalam penantian tak bertepi.
Di pusat badai rasaku, kamu adalah perjalanan ketabahan yang menguras kewarasan, juga ingkar logika. Satu detik yang berlalu adalah buncah getar yang gemetar; demi dan atas nama keakuan perasaan; utuh tulus untuk bersamamu.
“Lebih karena mencintaimu adalah karunia, aku menanggalkan seribu alasan mengapa memilihmu —saat ini atau nanti.”
Penantianku bertekuk pada lipatan sunyi yang mencekik. Kuisap gerah yang telantarkan galau. Masihkah tanda cintamu untukku? Semoga, nyata.
“Kapan kau tepati janjimu?”By. Moammar Emka
(Catatan ini merupakan kumpulan potongan beberapa tulisan di blog Moammar Emka yang sengaja saya disusun acak)