Pengeluaran Rp 1 Juta Per Hari, Sembuhkan 700 Pasien
Perempuan berkulit cerah, kuning langsat, tersenyum menjamu siapapun
yang datang ke tempat tinggalnya. Sebuah tempat tinggal, sekaligus wadah
menampung lebih dari 100 penderita gangguan jiwa alias orang gila.
HARLINDA, Samarinda
DIA berparas manis, bermata agak sipit. Rambutnya hitam lurus. Postur
tubuhnya sedang, tak kurus tak juga gemuk. Wajahnya tampak terlalu muda
untuk perempuan yang sudah menjanda. Namanya Rina Efline Mangkey yang sering pula disebut Rina Yohan. Dia
mempunyai kegiatan yang bisa dikategorikan langka. Rina tinggal bersama
107 orang yang mengalami gangguan jiwa, dalam satu rumah, sejak 12 tahun
lalu.
Rumah kayu tersebut terletak di Jalan Rimba No 14, Kecamatan Sungai
Kunjang, Samarinda. Letaknya tidak tepat di sisi jalan, melainkan
menjorok ke dalam, jalannya berbatu. Ada pagar kayu tinggi bertuliskan
Lamin Adulam. Itulah rumah yang dijadikan penampungan penderita gangguan jiwa yang
dikelola Rina. Luasnya sekitar 175 x 300 meter persegi. Namanya Lamin
Adulam. Berdiri di bawah Yayasan Join Adulam Ministry (JAM). Yayasan itu
berdiri sejak 1999.
Rina selalu turun tangan mengerjakan segala hal terkait kebutuhan para
penderita gangguan jiwa yang disebutnya sebagai pasien. Menurutnya,
penderita gangguan jiwa itu adalah orang-orang terlupakan. Orang-orang
yang seringkali tidak diingat keluarga, tidak dijenguk, bahkan dibuang
ke jalanan.
Rina mengatakan, apa yang dilakukannya selama ini bentuk pelayanan
terhadap sesama manusia dan Tuhan. Hampir 3 tahun dia ditinggal
suaminya, Pendeta Yohanes Ruben Dengah, menghadap sang Khalik. Sejak
itu, Rina seorang diri mengumpulkan kekuatan memimpin yayasan yang
semula dikelolanya bersama suami.
Terhitung sejak awal berdiri, 700 orang telah keluar dari yayasan
milik Rina. Mereka semua dinyatakan sembuh total. Padahal tak banyak
staf yang membantu proses penyembuhan.
Staf yang hanya berjumlah 6 orang bergantian bahu membahu merawat
pasien. Tanpa mengacu pada pengobatan medis, melainkan pendekatan
personal secara kekeluargaan. “Hanya sesekali kami memberi obat medis,
misalnya obat penenang. Itu pun ketika pasien mengamuk atau sakit
fisiknya,” ujar Ita, salah satu staf yayasan. Ita mengungkapkan kesannya terhadap Rina selama ini. “Bu Rina orangnya
baik sekali. Rendah hati, dan yang paling saya salut beliau tidak pernah
menyerah,” katanya.
Sejak suaminya meninggal, Rina dikenal para stafnya sebagai perempuan
yang kuat untuk bangkit dari masalah. Kasih dan motivasi yang besar
ditularkannya kepada seluruh staf yang sudah dianggapnya sebagai anak
asuh.
“Beliau memiliki prinsip dan sifat semua orang di dekatnya bisa berubah menjadi positif,” ujar Ita.
Berbagai masalah sering menerpa Rina dalam memperjuangkan yayasannya.
Walaupun demikian, dia selalu menghadapi masalah dengan sabar dan tetap
mendekatkan diri kepada Tuhan. “Sebagai manusia, rasanya saya memang
tidak mampu menjalankan semua ini, tapi tidak ada yang tidak mungkin di
mata Tuhan,” ujarnya.
Kebutuhan akan bahan-bahan pokok seperti makanan dan pakaian bagi para
pasien membuat Rina harus berpikir pintar. Tiap hari tak kurang Rp 1
juta dihabiskan untuk kebutuhan pasien. Tanpa bantuan pemerintah, Rina
harus berfikir keras menghidupi pasien dan para stafnya. Ia berpendapat banyaknya rintangan yang terjadi justru membuatnya
semakin kreatif. Dia pun rajin menjalin hubungan sosial. Hasilnya, para
donatur datang dengan sendirinya membantu kegiatan Rina. Beberapa pihak
telah menjadi donatur tetap.
“Para donatur kebanyakan tahu dari mulut ke mulut. Saya bersyukur tidak
dipromosikan saja donatur banyak yang berdatangan,” ucapnya dengan mata
berkaca-kaca. Tak hanya para pekerja, mahasiswa pun kadang menjadi donatur, entah dalam bentuk makanan maupun pakaian bagi para pasien.
Selain memperoleh pasokan dari donatur, para staf JAM juga membuat
beberapa kerajinan tangan berbentuk gantungan kunci maupun bingkai foto.
Proses pembuatan kerajinan tangan ini juga dibantu oleh beberapa pasien
yang sudah bisa “dikendalikan”. Mereka lalu menjualnya kepada
pengunjung Lamin Adulam.
Semangat yang ditularkan mendiang suami membuatnya bertahan sampai
sekarang. Meski mengakui pengalaman ditinggal suami adalah cobaan
terberat, namun Rina tetap tegar menyambut hari esok.
“Suami saya selalu mengatakan, kami pasti bisa. Saya hanya punya
prinsip dan kemauan, tapi Tuhan yang melakukan semuanya,” ujar Rina.
Tiap hari dia mengisi waktu dengan memfokuskan diri mengurusi para
pasien. Dibantu 6 orang staf, mereka bekerja dari memandikan hingga
mengatur menu maupun jadwal makanan para penderita gangguan jiwa
tersebut. Bahkan ada beberapa penderita gangguan jiwa yang bisa membantu
melakukan pekerjaan rumah seperti halnya mencuci baju, mencuci piring,
dan menyapu lantai. Dalam satu hari, pasien dibebaskan dua kali bermain
di halaman rumah yang berlantaikan semen.
Yayasan ini punya cara tersendiri agar penderita gangguan jiwa tidak
bertambah stres. Yakni, dengan membiarkan mereka bermain dan
mendengarkan lagu rohani.
Ibu dua anak ini mengaku jarang keluar rumah. “Kecuali ada keperluan
mendesak atau acara penting,” katanya. Anaknya yang berusia 15 dan 14
tahun masing-masing laki-laki dan perempuan tidak membuatnya kerepotan.
Anak tertuanya bernama Yeremia Covicar Dengah, siswa Sekolah Menengah
Teologi Kristen Bethel, Jakarta. Sedangkan si bungsu Hadassah Covicar
Dengah duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP) 1 Samarinda. “Mereka
sudah mandiri dan pintar mengurus diri sendiri,” tambahnya. (*/lin)
)* Diterbitkan di surat kabar harian Kaltim Post, Kamis, 8 Januari 2011
Simak juga tulisan lainnya di
sini dan di
sini.