Sunday, April 22, 2012

Next Game, Nobody Want to Lose

Steffan Harrson, pelatih sepak bola Tim Mitra Kukar memang bule. Malam itu kira kira pukul 22 Wita. Kami berkumpul di sebuah ruangan dan Steffan Harrson terus bicara dengan casciscus Bahasa Inggrisnya. Konfrensi pers seperti biasa, tiap kali permainan di LSI berakhir. Ini sekian kalinya saya meliput sepak bola. Dan sekian kalinya juga tidak terlalu perhatian dengan si pelatih. Beberapa media dengan seksama mendengarkan. Hm... tidak terlalu seksama sepertinya. Beberapa terlihat mengantuk, beberapa mengetik BBM (mengetik pesan di BBM, bukan mengetik berita di BB), dan tak jarang pada konfrensi pers seperti ini ada saja awak media yang mendengarkan sambil bermain Angry Bird. Kali ini, saya mendengarkan sambil makan kacang. Kacang goreng kulit berbungkus plastik transparan, model jadul, yang saya dapat dari seorang Oom tak dikenal. Sewaktu meliput, Oom itu duduk di samping saya membelikan kacang dan Teh Kotak. Suasana konfrensi pers sepak bola yang skornya 1-0 pastilah garing. Lagipula saya tidak mengerti dia ngomong apa. Pun setelah penerjemahnya mengartikan dalam Bahasa. Saya tidak begitu mengerti sepak bola. Beberapa awak media cetak terlihat masing-masing sibuk dengan kameranya. Bisa diterka foto itu sebagian besar hanya untuk dokumentasi. Karena koran maupun situs online jauh lebih tertarik memuat foto action di lapangan. Teman - teman dari media televisi terlihat hanya manggut-manggut. Tak niat merekam karena kemungkinan besar juga tidak akan tayang. Salah seorang teman saya, wartawan media cetak, namanya Bayu. Saya memanggil mereka semua dengan sebutan 'Abang' di awal nama. Bukan karena saya paling muda, tapi karena takut kualat. Bang Bayu berdiri di samping saya, sibuk sendiri dengan kameranya. Bosan, ia diam sejenak. 
Saya: Bang, dari tadi dia ngomong apa sih?

Bang Bayu: Hehehehehehe..
Saya: Emang abang ngerti dia ngomong apa?
Bang Bayu: Kadak tahu! (baca: enggak tahu, Banjarnese)

Saya: Saya sih dari tadi dia ngomong panjang lebar saya cuma paham satu kalimat doang.
Bang Bayu: Apa?
Saya: "Nobody want to lose"

Bang Bayu: Oh, aku juga. Aku tahu satu kalimat.
Saya: Apa?
Bang Bayu: "Next game" :D
Saya: ..................... :|

Saturday, April 14, 2012

Cerita Perempuan-Perempuan Perkasa: Rina E.M. Pengayom Orang Gila


Pengeluaran Rp 1 Juta Per Hari, Sembuhkan 700 Pasien

Perempuan berkulit cerah, kuning langsat, tersenyum menjamu siapapun yang datang ke tempat tinggalnya. Sebuah tempat tinggal, sekaligus wadah menampung lebih dari 100 penderita gangguan jiwa alias orang gila.

HARLINDA, Samarinda

DIA berparas manis, bermata agak sipit. Rambutnya hitam lurus. Postur tubuhnya sedang, tak kurus tak juga gemuk. Wajahnya tampak terlalu muda untuk perempuan yang sudah menjanda. Namanya Rina Efline Mangkey yang sering pula disebut Rina Yohan. Dia mempunyai kegiatan yang bisa dikategorikan langka. Rina tinggal bersama 107 orang yang mengalami gangguan jiwa, dalam satu rumah, sejak 12 tahun lalu.

Rumah kayu tersebut terletak di Jalan Rimba No 14, Kecamatan Sungai Kunjang, Samarinda. Letaknya tidak tepat di sisi jalan, melainkan menjorok ke dalam, jalannya berbatu. Ada pagar kayu tinggi bertuliskan Lamin Adulam. Itulah rumah yang dijadikan penampungan penderita gangguan jiwa yang dikelola Rina. Luasnya sekitar 175 x 300 meter persegi. Namanya Lamin Adulam. Berdiri di bawah Yayasan Join Adulam Ministry (JAM). Yayasan itu berdiri sejak 1999.

Rina selalu turun tangan mengerjakan segala hal terkait kebutuhan para penderita gangguan jiwa yang disebutnya sebagai pasien. Menurutnya, penderita gangguan jiwa itu adalah orang-orang terlupakan. Orang-orang yang seringkali tidak diingat keluarga, tidak dijenguk, bahkan dibuang ke jalanan.

Rina mengatakan, apa yang dilakukannya selama ini bentuk pelayanan terhadap sesama manusia dan Tuhan. Hampir 3 tahun dia ditinggal suaminya, Pendeta Yohanes Ruben Dengah, menghadap sang Khalik. Sejak itu, Rina seorang diri mengumpulkan kekuatan memimpin yayasan yang semula dikelolanya bersama suami.
Terhitung sejak awal berdiri,  700 orang telah keluar dari yayasan milik Rina. Mereka semua dinyatakan sembuh total. Padahal tak banyak staf yang membantu proses penyembuhan.

Staf yang hanya berjumlah 6 orang bergantian bahu membahu merawat pasien. Tanpa mengacu pada pengobatan medis, melainkan pendekatan personal secara kekeluargaan. “Hanya sesekali kami memberi obat medis, misalnya obat penenang. Itu pun ketika pasien mengamuk atau sakit fisiknya,” ujar Ita, salah satu staf yayasan. Ita mengungkapkan kesannya terhadap Rina selama ini. “Bu Rina orangnya baik sekali. Rendah hati, dan yang paling saya salut beliau tidak pernah menyerah,” katanya.

Sejak suaminya meninggal, Rina dikenal para stafnya sebagai perempuan yang kuat untuk bangkit dari masalah. Kasih dan motivasi yang besar ditularkannya kepada seluruh staf yang sudah dianggapnya sebagai anak asuh.

“Beliau memiliki prinsip dan sifat semua orang di dekatnya bisa berubah menjadi positif,” ujar Ita.
Berbagai masalah sering menerpa Rina dalam memperjuangkan yayasannya. Walaupun demikian, dia selalu menghadapi masalah dengan sabar dan tetap mendekatkan diri kepada Tuhan. “Sebagai manusia, rasanya saya memang tidak mampu menjalankan semua ini, tapi tidak ada yang tidak mungkin di mata Tuhan,” ujarnya.

Kebutuhan akan bahan-bahan pokok seperti makanan dan pakaian bagi para pasien membuat Rina harus berpikir pintar. Tiap hari tak kurang Rp 1 juta dihabiskan untuk kebutuhan pasien. Tanpa bantuan pemerintah, Rina harus berfikir keras menghidupi pasien dan para stafnya. Ia berpendapat banyaknya rintangan yang terjadi justru membuatnya semakin kreatif. Dia pun rajin menjalin hubungan sosial. Hasilnya, para donatur datang dengan sendirinya membantu kegiatan Rina. Beberapa pihak telah menjadi donatur tetap.

“Para donatur kebanyakan tahu dari mulut ke mulut. Saya bersyukur tidak dipromosikan saja donatur banyak yang berdatangan,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca. Tak hanya para pekerja, mahasiswa pun kadang menjadi donatur, entah dalam bentuk makanan maupun pakaian bagi para pasien.

Selain memperoleh pasokan dari donatur, para staf JAM juga membuat beberapa kerajinan tangan berbentuk gantungan kunci maupun bingkai foto. Proses pembuatan kerajinan tangan ini juga dibantu oleh beberapa pasien yang sudah bisa “dikendalikan”. Mereka lalu menjualnya kepada pengunjung Lamin Adulam.

Semangat yang ditularkan mendiang suami membuatnya bertahan sampai sekarang. Meski mengakui pengalaman ditinggal suami adalah cobaan terberat, namun Rina tetap tegar menyambut hari esok.
“Suami saya selalu mengatakan, kami pasti bisa. Saya hanya punya prinsip dan kemauan, tapi Tuhan yang melakukan semuanya,” ujar Rina.

Tiap hari dia mengisi waktu dengan memfokuskan diri mengurusi para pasien. Dibantu 6 orang staf, mereka bekerja dari memandikan hingga mengatur menu maupun jadwal makanan para penderita gangguan jiwa tersebut. Bahkan ada beberapa penderita gangguan jiwa yang bisa membantu melakukan pekerjaan rumah seperti halnya mencuci baju, mencuci piring, dan menyapu lantai. Dalam satu hari, pasien dibebaskan dua kali bermain di halaman rumah yang berlantaikan semen.

Yayasan ini punya cara tersendiri agar penderita gangguan jiwa tidak bertambah stres. Yakni, dengan membiarkan mereka bermain dan mendengarkan lagu rohani.
Ibu dua anak ini mengaku jarang keluar rumah. “Kecuali ada keperluan mendesak atau acara penting,” katanya. Anaknya yang berusia 15 dan 14 tahun masing-masing laki-laki dan perempuan tidak membuatnya kerepotan.

Anak tertuanya bernama Yeremia Covicar Dengah, siswa Sekolah Menengah Teologi Kristen Bethel, Jakarta. Sedangkan si bungsu Hadassah Covicar Dengah duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP) 1 Samarinda. “Mereka sudah mandiri dan pintar mengurus diri sendiri,” tambahnya. (*/lin)


)* Diterbitkan di surat kabar harian Kaltim Post, Kamis, 8 Januari 2011
Simak juga tulisan lainnya di sini dan di sini.

Thursday, April 12, 2012

Steal Like an Artist!


Foto foto yang saya "curi" dari blog pribadi Austin Kleon, penulis buku Steal Like an Artist. Selamat membaca, memahami, dan mengilhami ;)